MENGGAGAS ALTERNATIF, DUNIA TANPA BANK DUNIA

“Bank dunia juga mendorong proyek konservasi dengan berbasis hutang, yang terbukti telah gagal dan tidak lepas dari praktek korupsi dan terpenting tidak berbasiskan konservasi oleh rakyat dan untuk rakyat.”

BB74, Jakarta – Pada Oktober 2018, Indonesia akan menjadi tuan rumah pelaksanaan pertemuan tahunan Bank Dunia dan IMF. Pertemuan Tahunan itu dilakukan di tengah situasi meningkatnya ketimpangan, pemiskinan dan pelanggaran HAM yang justru diakibatkan oleh kehadiran Bank Dunia maupun Institusi Keuangan Internasional sejenis. Hari ini Bank Dunia juga hadir di Indonesia dengan agenda berbahayanya untuk mengintervensi berbagai kebijakan dan program, seperti Reforma Agraria, Dana Desa, Kebijakan Buruh Migran, dan lain sebagainya.

Sejak tahun 1967, IMF dan Bank Dunia, secara paralel dan berkolaborasi satu sama lain, melalui pinjaman maupun proyek yang didanai telah mendorong deregulasi dan privatisasi pelayanan-pelayanan publik di Indonesia. Berbagai proyek infrastruktur yang didanai Bank Dunia nyatanya disertai dengan perampasan tanah, penghilangan sumber-sumber kehidupan masyarakat, penghancuran lingkungan, bahkan kriminalisasi masyarakat yang memperjuangkan hak mereka.

Tak hanya itu, intervensi Bank Dunia juga mengakibatkan perubahan kebijakan negara untuk melancarkan investasi dan privatisasi sektor-sektor publik yang seharusnya menjadi hak dasar warga negara. Program WATSAL (Water Resources Sector Adjustment Loan) dari Bank Dunia melahirkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi pada 2015. Namun, UU ini telah berdampak pada privatisasi air di berbagai wilayah di Indonesia, yang berdampak pada tidak terpenuhinya hak masyarakat atas air.

Contoh lainnya adalah program LAP (Land Administration Project) yang dilanjutkan dengan Land Policy Management Reform dari Bank Dunia juga melahirkan berbagai kebijakan pertanahan yang berorientasi pada komoditisasi tanah, dan ditujukan untuk mempermudah pengambilan lahan untuk kepentingan investasi. Program ini juga menjadi cikal bakal dari UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang melegitimasi penggusuran tanah masyarakat atas nama pembangunan dan kepentingan umum.

BACA JUGA  BERGIZI TINGGI, BUDIDAYA IKAN NILA JADI BISNIS MENJANJIKAN

Sementara, Letter of Intent antara Indonesia dengan IMF (International Monetary Fund) telah melahirkan kebijakan-kebijakan yang mengkomoditisasi minyak dan gas, serta hutan. Karena itu, kehadiran Bank Dunia dalam Program Reforma Agraria justru merupakan ancaman terhadap perjuangan gerakan rakyat di Indonesia yang tengah mendorong Reforma Agraria sejati.

Bank Dunia juga semakin memperkuat kuasa korporasi dengan International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID). ICSID menjadi momok bagi negara-negara berkembang yang takut digugat oleh investor asing akibat kebijakannya dianggap (berpotensi) merugikan investasi. Akibatnya negara kehilangan kedaulatannya, termasuk untuk mengeluarkan kebijakan untuk melindungi rakyatnya. ICSID menjadi semakin sentral setelah klausul tentang mekanisme Investor-State Dispute Settlement (ISDS) dimasukkan dalam berbagai perjanjian perdagangan dan investasi yang dinegosiasikan.

Bagian Kutipan dari masing-masing organisasi:

Selama lebih dari satu dekade terakhir Indonesia telah menyaksikan berbagai perubahan kebijakani sektor air berdasarkan model keberlanjutan keuangan yang diajukan oleh lembaga-lembaga internasional berdasarkan prinsip-prinsip pasar seperti pemulihan biaya penuh (full cost recovery), rasionalisasi tarif air, privatisasi dan kemitraan publik swasta baik di perkotaan, pedesaan serta pertanian. Langkah – langkah yang bermuara pada privatisasi, komersialisasi dan komodifikasi air dan ditandai dengan beralihnya kendali air sistem pelayanan publik ketangan perusahaan dan mekanisme pasar. Warga masyarakat mengalami dampak buruk akibat berbagai persyaratan tersebut, terutama masyarakat miskin dan masyarakat yang terpinggirkan (Sigit, KRuHA).

Kutipan JATAM

“Kenyataannya, banyak bantuan dari Lembaga Keuangan Internasional justru membuat banyak Negara terjebak dalam utang berkepanjangan. Bahkan sistem “ekonomi keruk” telah melapangkan jalan bagi pemilik capital atas sumber-sumber kekayaan ekonomi di Negara-negara penghutang. Kondisi yang melahirkan situasi kemiskinan di Negara dunia ketiga dan kesejahteraan di Negara industri maju saat ini.

Proyek dan program utang luar negeri atas sponsor lembaga kreditor seperti IMF, Bank Dunia, ADB, JBIC, dll, telah menumbuhkan biaya sosial yang sangat besar, mulai dari pengusiran paksa, penggusuran, kerusakan lingkungan dan korupsi”.

BACA JUGA  NASIB TRAGIS HEWAN LAUT AKIBAT SAMPAH PLASTIK

“Meningkatnya ketimpangan, ketidakadilan dan pemiskinan, tidak terlepas dari peran IMF dan Bank Dunia yang telah menjebak Indonesia dalam sistem ekonomi politik global yang mengejar pertumbuhan ekonomi semata dan mengabaikan kesejahteraan rakyat serta kelestarian dan keberlanjutan lingkungan sebagai sumber kehidupan,” ungkap Koordinator Program Nasional Solidaritas Perempuan, Dinda N. Yura.

“Dalam sistem ekonomi yang demikian, perempuan tidak diperhitungkan sebagai kelompok yang produktif sehingga kepentingan dan suaranya juga dianggap tidak perlu diperhitungkan. Lebih jauh lagi, sistem ekonomi yang demikian juga menghilangkan pengalaman, pengetahuan, kearifan lokal, dan kedaulatan rakyat, terutama perempuan atas pengelolaan sumber-sumber kehidupan,” lanjutnya.

Kebijakan pengelolaan perikanan pun tak luput dari intervenai Bank Dunia untuk kemudian merampas sumber kelautan Indonesia dituturkan oleh Marthin Hadiwinata selaku Ketua Harian KNTI. Skema privatisasi pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil melalui UU No. 27/2007 telah membuka ruang kepada korporasi untuk melakukan perampasan pesisir laut yang setelah perlawanan rakyat menjadi skema perizinan.

Bank dunia juga mendorong proyek konservasi dengan berbasis hutang, yang terbukti telah gagal dan tidak lepas dari praktek korupsi dan terpenting tidak berbasiskan konservasi oleh rakyat dan untuk rakyat. Terkini dalam revisi UU Perikanan, terdapat intervensi untuk memaksakan skema Rights-Based Fisheries (Perikanan Berbasis Hak) dimana memiliki semangat untuk mengekslusi pelaku nelayan skala kecil.

Zainal Arifin Fuad (Serikat Petani Indonesia)

WB, sebagai lembaga pendanaan pembangunan dunia, menerapkan berbagai model mega proyek yang dilaksanakan untuk meningkat pertumbuhan ekonomi dimana hal ini berimbas kepada maraknya perampasan lahan dan penggusuran rumah-rumah petani di berbagai belahan dunia.

Bukan hanya dalam pembangunan infrastruktur, kini World Bank telah masuk ke ranah agraria dengan konsep reforma agrarianya. Konsep reforma agraria tersebut dapat disebut juga sebagai Reforma agraria berbasis pasar (Market-led Agrarian Reform). Konsep ini bukan menekankan kepada redistribusi lahan secara adil, kepenguasaan tanah para petani penggarap dan pengelolaan berbasis keluarga, akan tetapi hanya menekankan kepada masalah monetisasi lahan, yang dampaknya akan membentuk kepenguasaan oleh individu-individu dan memudahkan infiltrasi kapital.

BACA JUGA  POLRES PELABUHAN TANJUNG PRIOK AMANKAN 20 SENJATA JENIS AIRSOFT GUN ILEGAL DI JUAL LEWAT MEDSOS

World Bank juga berperan dalam pembiayaan kebijakan REDD/REDD+ termasuk skema Karbon Biru yang melegalisasi perdagangan karbon dan menempatkan korporasi sebagai aktor utama dalam pencegahan perubahan iklim bukannya. Hal ini justru kontraproduktif melihat korporasi merupakan penyumbang utama emisi karbon.

IMF dalam kebijakan safeguardnya bertumpu pada liberalisasi, privatisasi dan deregulasi yang mengakibatkan pendegradasian kedaulatan negara. Sektor-sektor vital yang menguasai hajat hidup orang banyak diserahkan kepada masalah sektor swasta agar mekanisme ataupun waktu pembayaran hutang dapat berjalan lancar. Imbasnya, kesejahteraan petani menjadi terabaikan dan menjadi sasaran utama pemiskinan. Contohnya seperti kebijakan pencabutan subsidi BULOG ketika Indonesia menandatangani LoI IMF yang menyebabkan terbukanya keran impor besar-besaran di Indonesia.

Di sisi lain, berbagai komunitas telah memiliki sistemnya sendiri termasuk pengetahuan, pengalaman dan kearifan lokal yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan. Termasuk di dalamnya praktik-praktik pengelolaan pangan yang subsisten dan berorientasi pada keberlanjutan ekologi dan lingkungan.

Praktik-praktik yang demikian tidak hanya memenuhi kebutuhan komunitas, tetapi juga berkontribusi dalam melestarikan lingkungan dan keberlanjutan kehidupan. Dalam berbagai konteks di atas, mengkritisi Bank Dunia, IMF, dan sistem politik ekonomi global tidaklah cukup, sebuah tatanan ekonomi politik baru tanpa Neoliberalisme dan Imperialisme, dan dibangun berdasarkan kekuatan dan kedaulatan rakyat adalah keharusan sejarah.

Jakarta, 19 Agustus 2018.

Gerak Lawan (Gerakan Rakyat Melawan Neokolonialisme dan Imperialisme)

Editor: Tim Red/Berita360.com.

Previous Article
Next Article

TABLOID EDISI TERBARU 2019

  • Edisi Ke-69

IKLAN LAYANAN PUBLIK

Ir. Firmansyah Mardanoes
Dadang Wijaya, SE
Mohamad Shaleh, S.Sos

KOMUNITAS JURNALIS ANTIHOAX